Selasa, 01 Juni 2010

bagaimana menjadi Khalifatullah

Ingatlah, ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, Sesungguhnya Aku akan menciptakan di muka bumi seorang khalifah. Para malaikat serentak berkata, Apakah Engkau hendak menciptakan di muka bumi (makhluk) yang akan melakukan kerusakan dan akan menumpahkan darah di dalamnya, padahal kami senantiasa bertasbih dengan menyanjung-Mu dan mensucikan-Mu? Seraya Allah menjawab, Sungguh Aku lebih mengetahui apa-apa yang tidak kalian ketahui. (QS. Al-Baqarah ayat 30).

Ayat di atas termasuk dari sekian firman Allah Ta’ala yang senantiasa segar dibahas dan dikaji. Hingga saat ini para ulama, khususnya Mufassirin (ahli tafsir Al-Qur’an), belum puas-puas dan tidak henti-hentinya mengungkap dan mengeksplorasi sedalam-dalamnya maksud dari ayat tersebut, untuk mendapat kebenaran darinya. Alasan mereka jelas dan sederhana. Karena ayat ini menyangkut eksistensi manusia yang sebenarnya.
Dengan memahami ayat tersebut secara baik dan benar, maka akan terpecahkan sebuah problema yang maha besar, yaitu hakikat manusia. Memahami hakikat manusia sangat menentukan pandangan dunia, ideologi, sikap, perjalanan dan nasib manusia setelah mati.
Hakikat manusia bagi sebagian pemikir dan filosof, masih merupakan teka-teki yang membingungkan. Umat Islam dengan pancaran cahaya Al-Qur’an, sedikit banyaknya terbantu dalam mengetahui hakikat manusia dan itu pun tergantung sejauh mana mereka memahami ayat tersebut.

Apa Arti Khalifah?
Islam memandang manusia sebagai khalifatullah, yakni khalifah Allah. Itulah hakikat manusia. Namun apakah dalam kenyataannya setiap manusia itu khalifatullah ? Bukankah di antara mereka ada yang kafir ?
Lalu apa yang dimaksud dengan manusia sebagai khalifatullah ? Atau bagaimana manusia menjadi khalifatullah ?Sebelum pertanyaan-pertanyaan di atas dapat dijawab, maka terlebih dahulu harus dipahami arti khalifah itu sendiri.
Khalifah atau khilafah, berasal dari akar kata khalaf yang berarti di belakang punggung, meninggalkan sesuatu di belakang atau sesuatu yang menempati tempat sesuatu yang lain. Al-Qur’an menyebut kata khalifah atau khilafah dengan berbagai turunannya. Selain itu, Al-Qur’an menggunakan kata khalifah untuk manusia dan untuk selain manusia.
Misalnya, ayat yang berbunyi, “Dialah yang menciptakan malam dan siang silih berganti (malam menempati siang dan siang menempati malam), bagi mereka yang mau berpikir atau bersyukur.” (QS. Al-Furqan : 62)
Ketika kata khalifah digunakan untuk manusia, kata ini mempunyai arti yang netral. Maksudnya bisa untuk kebaikan dan bisa pula untuk keburukan.
Lalu datanglah setelah mereka generasi (pengganti), yang melalaikan shalat dan mengikuti hawa napsu. Mereka kelak niscaya akan mendapatkan kesesatan."(QS. Maryam : 59).
Atau firman-Nya yang berbunyi, "Maka datanglah setelah mereka generasi (pengganti), yang mewarisi kitab." (QS. Al-Araf : 169).
Tetapi ketika kata khalifah disandarkan (di-idhafah-kan) kepada Allah atau Rasulullah, maka kata itu mengandung arti yang positif. Maksudnya jika yang diganti (al-mustakhlif) baik, maka yang menggantikannya (khalifah, mustakhlaf) harus baik juga. Andaikata tidak, maka akan merusak reputasi mustakhlif.
Manusia adalah khalifah dari Allah dan Allah adalah puncak segala kebaikan dan kesempurnaan. Dengan demikian manusia adalah titisan dari kebaikan dan kesempurnaan-Nya.
Jadi manusia berkedudukan sebagai wakil atau pengganti Allah di muka bumi. Yaitu manusia yang mempunyai kemampuan untuk mengatur dan mengubah alam. Manusia yang sedikit banyak mengetahui rahasia alam. Semua itu tidak berlaku bagi makhluk-makhluk lainnya. Akan tetapi bagaimana dengan kenyataan umat manusia zaman kini ? Sungguh ironis sekali bukan.
Syekh Taqi Mishbah berpendapat, bahwa kedudukan khalifah tidak terbatas pada Adam saja, melainkan manusia lain pun dapat menduduki jabatan khilafah dengan satu syarat, yaitu mengetahui asma. (lihat kitab Ma’arif Al-Qur’an, juz 3 hal 73).
Allamah Thabathaba’i dalam kitab Tafsir al-Mizan, jilid I halaman 116 berkata, “Khilafah tidak terbatas pada diri Adam as. saja, tetapi para keturunannya pun sama menduduki khilafah tanpa kecuali.”
Selanjutnya beliau menjelaskan, “Maksud mengajarkan asma, adalah menyimpan ilmu pada manusia yang senantiasa akan tampak secara bertahap. Jika manusia mendapatkan petunjuk, maka dia akan membuktikannya secara faktual (bil-fi’li) setelah sebelumnya berupa potensial (bil-quwwah).”
Maksud dari penjelasan Allamah Thabathaba’i di atas, bahwa manusia secara potensial adalah khalifah Allah. Namun yang mampu memfaktualkannya tidak semua manusia. Hanya sebagian kecil saja di antara mereka yang mampu. Hal itu kembali kepada ikhtiar dan pilihan manusia itu sendiri.

Kriteria-Kriteria Khalifatullah
Pada dasarnya manusia diciptakan Allah sebagai khalifah-Nya. Namun hal itu masih berupa potensi, seperti yang telah dijelaskan terdahulu. Nah, agar potensi itu berkembang dan mewujud secara nyata, maka terdapat seperangkat kriteria yang harus dipenuhi sehingga manusia benar-benar menjadi khalifah Allah Ta’ala.
Kriteria-kriteria khalifah Allah itu ialah :

1. Ilmu
Kriteria pertama adalah ilmu. Pada ayat yang telah disebutkan terdahulu, selanjutnya disambung dengan ayat yang berbunyi :
Dia mengajarkan kepada Adam asma (nama benda-benda) semuanya, kemudian dia mempertunjukkannya kepada para malaikat. Lalu Allah berfirman (kepada para malaikat), Sebutkanlah kepada-Ku asma-asma itu, jika kalian memang benar ?"(QS. Al-Baqarah : 31).

Para mufasir berbeda pendapat tentang pengertian asma yang tercantum pada ayat di atas. Walaupun mereka berbeda pendapat tentang makna asma, tetapi yang pasti (al-qadru al-mutayaqqan) dan yang tidak diperselisihkan lagi adalah, bahwa Adam as. dibekali pengetahuan dan ilmu yang tidak dimiliki oleh para malaikat.
Sebagaimana telah kami kutipkan komentar Allamah Thabathaba’i tentang pengertian asma pada surat Al-Baqarah ayat 31 tersebut, beliau menjelaskan bahwa Allah telah menyimpan dalam diri manusia sebuah potensi ilmu, yang akan nyata dengan mengikuti petunjuk-Nya.
Jadi untuk menjadi khalifatullah, hendaknya manusia berilmu. Manusia yang tidak berilmu, tidak bisa dikatakan sebagai khalifah Allah Ta’ala.

2. Iman dan Amal
Pada ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman tentang kriteria khalifah-Nya.
"Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan beramal shaleh (kebaikan), bahwa Dia akan menjadikan mereka sebagai khalifah di bumi, Sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka sebagai khalifah. Sesungguhnya Dia akan meneguhkan bagi mereka agama mereka, yang telah diridhai-Nya untuk mereka, serta Dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka menjadi aman setelah mereka ketakutan. Mereka akan menyembah-Ku dan tidak menyekutukan apapun dengan-Ku. Dan barang siapa kafir setelah itu, maka mereka adalah orang-orang yang fasik." (QS. An-Nur : 55).

Pada ayat tersebut, jelas sekali Allah berjanji akan menjadikan hamba-hamba-Nya sebagai khalifah yang akan menguasai dan memimpin dunia. Tetapi janji itu akan ditepati-Nya bagi manusia yang beriman dan beramal kebaikan.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa kriteria lain dari seorang khalifatullah adalah iman dan amal shaleh.

3. Memberi keputusan dengan benar (haqq) dan tidak mengikuti hawa nafsu
Allah Ta’ala berfirman,
"Wahai Dawud, Kami jadikan engkau sebagai khalifah di bumi, maka berilah keputusan dengan benar dan janganlah mengikuti hawa nafsu, karena hawa nafsu akan menyesatkanmu dari jalan Allah." (QS. Shad : 26).

Allamah Thabathaba’i berkata, “Maksud khalifah di sini secara lahiriah adalah khalifatullah, sama dengan maksud dari firman Allah (pada surat Al-Baqarah ayat 30). Dan seorang khalifah seharusnya menyerupai Yang mengangkat dirinya sebagai khalifah dalam sifat-sifat-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya. Oleh karena itu khalifatullah di bumi hendaknya berakhlak dengan akhlak-akhlak Allah, berkehendak, bertindak sebagaimana yang Allah kehendaki dan memberi keputusan dengan keputusan Allah serta berjalan di jalan Allah.”

Selanjutnya ketika menafsirkan ayat :
"Dan janganlah mengikuti hawa nafsu, karena hawa nafsu akan menyesatkanmu dari jalan Allah."
Beliau berkata, “Makna ayat tersebut adalah, bahwa engkau dalam memutuskan (sesuatu) janganlah mengikuti hawa nafsu, maka engkau akan disesatkan olehnya dari kebenaran, yaitu jalan Allah.” (Tafsir al-Mizan, jilid 17 halaman 194-195).

4. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar
Rasulullah saww bersabda, “Barang siapa ber-amar ma’ruf dan nahi munkar, maka dia adalah khalifatullah di bumi dan khalifah kitab-Nya serta khalifah rasul-Nya.’’ (Kitab Mizan al-Hikmah, jilid 3 hal 80).

Kesimpulan
Semua manusia secara potensial (bil-quwwah), diciptakan untuk menjadi khalifatullah. Namun agar potensi tersebut menjadi nyata (bil-fi’li), terdapat sejumlah kriteria yang harus dimilikinya, yaitu ilmu, iman, amal shaleh, memberi keputusan dengan benar, tidak mengikuti hawa nafsu dan ber-amar ma’ruf dan nahi munkar. []

Bagaimana cara Kita Beragama

Pertanyaan di atas layak diketengahkan dalam rangka introspeksi diri atas keagamaan kita, sehingga kita benar-benar beragama sebagaimana mestinya. Karena betapa banyak orang beragama, namun keberagaman mereka sekedar warisan dari orang tua atau ingkungan sekitar mereka. Bahkan ada sebagian orang beranggapan, bahwa agama hanya sebagai pelengkap kehidupan yang sifatnya eksidental.
Mereka tidak ambil peduli yang lazim terhadap agama. Karenanya mereka beragama asal-asalan, sekedar tidak dikatakan 'Tidak Beragama'. Gejala perpindahan dari satu agama kepada agama yang lain bukanlah semata karena faktor ekonomi. Bahkan, anggapan bahwa semua agama itu sama merupakan akibat dari ketidakpedulian yang lazim terhadap agama. Gejala Pluralisme semacam ini menjadi trend abad kedua puluh.
Dalam persepsi mereka, membicarakan agama adalah suatu hal yang sangat sensitif dan akan merenggangkan hubungan antara manusia. Agama merupakan sesuatu yang sangat personal dan tidak perlu diuungkap dalam forum-forum umum dan terbuka. Jika harus berbicara agamapun, maka ruang lingkupnya harus dibatasi pada sisi peribadatan saja.
Agama telah dirampingkan, sedemikian rupa sehingga, hanya mengurus masalah-masalah ritual belaka. Agama jangan dibawa-bawa ke dalam kancah politik, sosial, dan ekonomi. Karena jika agama dibawa ke dalam arena politik dan sosial, maka kanterjadi perang antar agama dan penindasan atas agama tertentu oleh agama yang berkuasa. Demikian pula, jika agama diperanaktifkan dalam urusan ekonomi, maka akan membatasi kebebasan perilaku menimbun kekayaan, karena banyak lampu-lampu merah dan peringatan-perigatan yang sudah tentu akan menghambat kelancaran bisnis.

Apakah benar demikian ?
Tentu, bagi mereka yang masih memiliki keterikatan dengan agama akan mengatakan, bahwa pernyataan di atas relatif kebenarannya. Sebab, boleh jadi pernyataan di atas adalah suatu kesimpulan dari beberapa kasus sejarah yang parsial dan situasional, bahkan tidak bisa digeneralisasikan.
Namun bagi kau muslimin, pernyataan di atas sama sekali tidak benar, karena secara teoritis agama Islam adalah pegangan hidup (way of life) yang lengkap dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, baik secara individu maupun kemasyarakatan. Islam agama yang sangat luas dan fleksibel. Secara praktek hal ini telha dibuktikan, bahwa dalam sebuah pemerintahan yang menjlankan syariat Islam dengan baik, kehidupan masyarakatnya --baik muslim maupun non-muslim-- aman, damai dan sejahtera, pengetahuan di dalamnya maju pesat.
Yang menjadi acauan kita adalah bagaimana seharusnya kita beragama, agar ajarannya benar-benar terasa dan mewarnai seluruh aspek kehidupan kita.
Sebagaimana telah kita bahas pada edisi sebelumnya, bahwa ajaran-ajaran Din terdiri atas tiga macam , yaitu aqidah (keyakinan), syariah (hukum atau fiqih) dan akhlaq. Semuanya harus kita perhatikan secara proporsional. Di sini kami akan menjelaskan, walaupun ringkas, ketiga jenis ajaran tersebut.

1. Aqidah
Aqidah adalah perkara-perkara yang mengikat akal, pikiran dan jiwa seseorang (mabani-e Syenakht, Syeikh Muhammad Raysyahri). Misalnya, ketika seseorang meyakini adanya satu Dzat yang senantiasa mengawasi gerak-gerik kita, maka keyakinan tersebut mengikat kita sehingga tidak leluasa berbuat sesuatu yang akan menyebabkan-Nya murka.
Pada dasarnya, inti dari Aqidah semua agama, adalah keyakinan akan eksistensi Dzat pencipta alam raya ini, dan ini merupakan fitrah manusia. Dengan demikian, dari sisi ini semua agama sama, khususnya agama samawi. Allah Ta'ala berfirman, "Katakanlah, Wahai Ahli Kitab, marilah kita menuju (membicarakan) kalimat (keyakinan) yang sama antara kami dan kalian." (QS. Ali Imran:64).
Namun perbedaan muncul ketika berbicara tentang siapa Pencipta alam raya ini, bagaimana wujud-Nya, apakh tunggal atau berbilang, atau pertanyaan-pertanyaan lain yang berkaitan dengan ketuhanan.
Tentu, tidak mungkin semua agama itu benar dalam memahami sang pencipta. Oleh karenanya , hanya ada satu agama yang benar dalam memahami Siapa dan bagaimana Dzat Pencipta itu.
Lalu bagaimana cara menetukan mana agama yang benar?
Dalam hal ini, masing-masing agama tidak bisa membicarakan hal itu menurut kacamatanya sendiri, baik melalui kitab sucinya atau pendapat para pakarnya. Ummat Islam tidak bisa membuktikan bahwa Tuhan itu Allah dengan Al-Qur'an' maupun hadits, atau Ummat Kristiani dengan kitab Injilnya. Demikian pula ummat lainnya.
Berbicara mengenai tentang Siapa dan bagaimana Tuhan Pencipta, harus dengan sesuatu yang disepakati dan dimiliki oleh setiap agama, yaitu akal. Keunggulan dan keberhasilan suatu agama atau aliran, tergantung sejauh mana dapat dipertahankan kebnarannya oleh akal. Maka di sinilah pelunya kita mempelajari aqidah melalui pendekatan akal, atau yang sering disebut dengan ushuluddin, ilmu Tawhid dan ilmu Kalam (theologi).
Bagaimana kita beraqidah atau bagaiman kita mempelajari aqidah ?
Ayatullah Muhammad Raysyahri dalam Kitab Mabani-e Syenakht membafi manusia beraqidah keapda dua kelompok , yaitu sebagian orang beraqidah atas dasar Taqlid dan lainnya beraqidah atas dasar Tahqiq. Taqlid ialah menerima pendapat orang tanpa dalil dan argumentasi (burhan) aqli, sebaliknya Tahqiq adalah menerima pendapat berdasarkan dalil dan argumentasi (burhan) Aqli.
Beraqidah atas dasar taqlid, menurut akal tidak dapat dibenarkan.Karena masalah Aqidah adalah masalah keyakinan dan kemantapan. Sementara taqlid tidak memberikan keyakinan dan kemantapan.Oleh karenanya, alangkah banyak kalangan awam, dalam masalah keagamaan, karena satu dan lain hal, pindah agama atau keluar dari agamanya. Al-Qur'an sendiri, dalam beberapa ayatnya, mengkritik cara berpikir seprti ini, yang merupakan cara berpikir yang biasa dijadikan alasan oleh orang-orang musyrik untuk tidak mengikuti ajakan para nabi. Misalnya, Al-Qur'an mengatakan,"Jika dikatakann kepada mereka ,'ikutilah apa yang Allah turunkan.' Mereka menjawab,'Tidak.' Akan tetapi kami mengikuti (melakukan) apa yang kami dapati dari pendahulu kami." (QS. Luqman :21).
Selain itu, Al-Qur'an juga melarang mengikuti sesuatu tanpa pengetahuan,"Dan janganlah kalian mengikuti apa yang tidak kalian ketahui." (QS. al-Isra :36). Bahkan Al-Qur'an menyebut orang yang tidak menggunakan akalnya sebagai binatang yang paling buruk,"Sesungguhnya binatang yang paling buruk di sisi Allah adalah orang yang bisu dan tuli, yaitu orang-orang yang tidak berpikir." (QS. al-Anfal:22) dan ayat-ayat lainnya.
Disamping itu, terdapat hadits Rasulullah saww. yang menganjurkan ummatnya agar beragama atas dasar pengetahuan. Atara lain hadits yang berbunyi,"Jadilah kalian orang yang berilmu atau yang sedang menuntut ilmu, dan jangan menjadi orang yang ikut-ikutan." (Kitab an-Nihayah Ibnu Atsir, jilid I hal. 67)
Ala Kulli Hal, akal diciptakan sebagai sumber kekuatan manusia untuk mengetahui kebenaran dan kesalahan. Salah seorang Ma'shumin berkata, "Allah mempunyai dua hujjah (bukti kebenaran), hujjah lahiriah dan hujjah batiniah. Hujjah lahiriah adalah para Rasul dan Hujjah batiniah adalah akal." Sementara itu, para mutakallimin dan filosof muslim telah bersusah payah membangun argumentasi-argumentasi yang kuat dan kokoh tentang pembuktian keberadaan Allah Ta'ala.
Dengan demikian, kesimpulan yang dapat kita tarik dari keterangan di atas, adalah bahwa dalam masalah aqidah seseorang mesti ber-tahqiq dengan dalil-dalil akal dan tidak boleh ber-taqlid.

2. Syariat
Syariat menurut arti bahasa adalah tempat menagalirnya air. Lalu syariat diartikan lebih luas, yaitu untuk segala jalan yang mengantarkan manusia kepada maksudnya (Lihat tafsir Namuneh dan tafsir Mizan dalam menafsirkan surat al-Jatsiyah ayat 18).
Dengan demikian, Syariat Islamiyah berarti jalan yang mengantarkan umat manusia kepada tujuan Islami.
Setelah seseorang meyakini keberadaan Allah sebagai pencipta dan pemberi Kehidupan sesuai dengan dalil-dalil akal, maka konsekuensi logisnya (bil mulazamah aqliyah) dia akan merasa berkewajiban untik menaati dan menyembah-Nya. Namun sebelumnya, tentu dia harus mengetahui cara bertaat dan menyembah kepada-Nya, agar tidak seperti orang-orang arab jahiliyah yang menyembah Allah, namun melalui patung-patung (QS.az-Zumar: 3).
Mereka, sesuai dengan fitrah-ilahiah, meyakini keberadan Tuhan Sang Pencipta alam raya. Berkenaan dengan itu, Allah Ta'ala berfirman, "Jika kamu bertanya kepada mereka,'Siapakah yang menciptakan bumi dan langit ? Niscaya mereka menjawab 'Allah.' (QS. Luqman : 25). Kemudian , mereka ingin mengadakan hubungan dan berkomunikasi dengan-Nya (menyembah-Nya), sebagaiman Allah lukiskan dalam firman-Nya,"Sebenarnya kami menyembah patung-patung sebagai upaya mendekatkan diri kami kepada Allah semata." (QS. az-Zumar, 3). Meskipun mereka meyakini keberadaan Allah Ta'ala, namun mereka salah dalam cara mengadakan komumikasi dengan-Nya.
Nah, agar tidak terjadi kesalahan dalam kontak dan komunikasi dengan Allah, maka kita mesti melakukannya menurut cara yang dikehendaki-Nya dan tidak mengikuti cara yang kita inginkan. Allah dengan luthuf-Nya (upaya mendekatkan hamba pada ketaatan dan menjauhkannya dari kemaksiatan) mengutus para nabi dan mengajarkan tata cara menyembah (beribadah). Oleh karena itu, kita mesti mengikuti bagaimana Rasulullah saww. beribadah,"Shalatlah kalian, sebagaimana kalian melihat aku shalat."
Kaum muslimin yang menyaksikan Rasulullah beribadah secara langsung, tidak mengalami kesulitan untuk mengikuti beliau. Namun, bagi kita yang telah dipisahkan dari beliau dengan renatang waktu yang cukup panjang (lima belas abad),untuk mengetahui cara beliau beribadah hanyalah dapat dilakukan melalui perantaraan Al-Qur'an dan hadits. Dan untuk memahami maksud Al-Qur'an dan Hadits tidakklah mudah.
Menyangkut Al-Qur'an, Imam Ali bin Abi Thalib as. berkata,"Kitab Tuhan kalian (berada) ditengah-tengah kalian. Ia menjelaskan tentang halal dan haram, kewajiban dan keutamaan, nasikh (ayat yang menghapus) dan mansukh (ayat yang dihapus), rukhshah dan Azimah, khusus dan umum,'ibrah dan perumpamaan, mursal (mutlaq) dan mahdud (muqayyad), muhkam (ayat yang jelas maksudnya) dan mutasyabih (ayat yang belum jelas maksudnya).." (Tashnif Nahjul Balaghah: 207). Sedangkan mengenai hadits yang sampai kepada kita, ribuan jumlahnya dari berbagai kitab hadits, dan tidak sedikit darinya pertentangan satu dengan lainnya.
Dengan demikian, untuk dapat memahami malsud Al-Qur'an dan hadits, harus terlebih dahulu menguasai sejumlah disiplin ilmu dengan baik, antara lain Bahasa Arab, Tafsir, Ulumul Quran, Ushul iqh, Mantiq, Ilmu Rijal, Ulumul Hadits dan sebagainya.
Orang yang telah menguasai semua disiplin ilmu tersebut dengan baik, dia dapat ber-istinbath (menginterpretasikan hukum) secara langsung dari Al-Qur'an dan hadits (pelakunya disebut Mujtahid). Tetapi orang yang tidak menguasai semua ilmu di atas dengan baik, maka cukup baginya mengikuti (bertaqlid) kepada hasil istinbath seorang Mujtahid. Dalam masalah aqidah taqlid tidak diperkenankan, sementara dalam masalah syariat taqlid diperbolehkan.

3. Akhlak
Para ulama dalam mengartikan akhlaq umumnya mengatakan,"Akhlaq adalah ilmu yang menjelaskan tentang mana yang baik dan mana yang buruk, serta apa yang harus di amalkan." Mereka membagi ilmu akhlaq kepada dua bagian, yaitu akhlaq teoritis dan akhlaq praktis. Mempelajari dan mengamalkan akhlaq sangat diperlukan sebagai proses mencapai tujuan hidup yaitu kesempuranaan.
Kalimat penutup, sebagai jawaban atas pertanyaan bagaimana seharusnya kita beragama, adalah beraqidah atas dasar tahqiq dan menjalankan syariat dengan baik atas dasar ijtihad atau taqlid dan berakhlaq.

Kitab Rujukan :
1. Tafsir al-Mizan, karya Allamah Thabathabai
2. Tafsir Namuneh, karya Ayatullah Makarim Sirazi.
3. Asyna'i ba Ului-e Islami, karya Ayatullah Syahid Muthahhari.
4. Tashnif Nahjul Balaghah, karya Labib Baidhun

Mengapa kita beragama

Perkataan di atas sangat tepat dan pada tempatnya, mengingat banyak orang yang beragama, tetapi tidak mengenal agamanya dengan baik. Padahal, mengenai agama seharusnya berada pada tahapan awal sebelum mengamalkan ajarannya. Tetapi secara realita, keberagamaan sebagian besar dari mereka tidak sebagaimana mestinya. Nah, dalam kesempatan ini kami akan memberikan penjelasan tentang mengapa kita beragama dan bagaimana seharusnya kita beragama. Sehingga kita beragama atas dasar bashirah (pengetahuan, pengertian, dan bukti).
Allah Ta’ala berfirman : "Katakanlah (wahai Muhammad). Inilah jalan-Ku. Aku mengajak kepada Allah dengan bashirah (hujjah yang nyata)" (QS Yusuf, 12 : 108).
Namun sebelum menjawab dua pertanyaan di atas, ada baiknya kami terlebih dulu membicarakan tentang din itu sendiri.

Apa itu Din ?
Din berasal dari bahasa Arab dan dalam Alquran disebutkan sebanyak 92 kali. Menurut arti bahasa (etimologi), din diartikan sebagai balasan dan ketaatan. Dalam arti balasan, Alquran menyebutkan kata din dalam surat Al-Fatihah ayat 4, Maliki Yaumiddin (Dialah Pemilik (Raja) Hari Pembalasan)." Demikian pula dalam sebuah hadis, din diartikan sebagai ketaatan. Rasulullah Saww bersabda : "Ad-diinu nashiihah (agama adalah ketaatan)." Sedangkan menurut terminologi teologi, din diartikan sebagai : "sekumpulan keyakinan, hukum, norma yang akan mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun akhirat."
Berdasarkan hal di atas, din mencakup tiga dimensi : (1) keyakinan (akidah); (2) hukum (syariat); dan (3) norma (akhlak). Ketiga dimensi tersebut dikemas sedemikian rupa sehingga satu sama lain lain saling berkaitan, dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Dengan menjalankan din, kebahagiaan, kedamaian, dan ketenangan akan teraih di dunia dan di akhirat. Seseorang dikatakan mutadayyin (ber-din dengan baik), jika dia dapat melengkapi dirinya dengan tiga dimensi agama tersebut secara proporsional, maka dia pasti berbahagia.
Dalam dimensi keyakinan atau akidah, seseorang harus meyakini dan mengimani beberapa perkara dengan kokoh dan kuat, sehingga keyakinannya tersebut tidak dapat digoyahkan lagi. Keyakinan seperti itu akan diperoleh seseorang dengan argumentasi (dalil aqli) yang dapat dipertahankan. Keyakinan ini pada intinya berkisar kepada Allah dan Hari Akhirat.
Adapun syariat adalah konsekuensi logis dan praktis dari keyakinan. Mengamalkan syariat merupakan representasi dari keyakinan. Sehingga sulit dipercaya jika seseorang mengaku beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, tetapi tidak mengindahkan syariat-Nya. Karena syariat merupakan kewajiban dan larangan yang datang dari-Nya.
Sedangkan akhlak adalah tuntunan akal budi (aqal amali) yang mendorong seseorang untuk mengindahkan norma-norma dan meninggalkan keburukan-keburukan. Seseorang belum bisa dikatakan mutadayyin selagi tidak berakhlak, la diina liman la akhlaqa lahu. Demikian pula, keliru sekali jika seseorang terlalu mementingkan akhlak daripada syariat.
Dari ketiga dimensi din tersebut, akidah menduduki posisi yang paling prinsip dan menentukan. Dalam pengertian bahwa yang menentukan seseorang itu mutadayyin atau tidak adalah akidahnya. Dengan kata lain, yang memisahkan seseorang yang beragama dari yang tidak beragama (ateis) adalah akidahnya. Lebih khusus lagi, bahwa akidahlah yang menjadikan orang itu disebut Muslim, Kristiani, Yahudi atau yang lainnya.

Mengapa Kita Beragama ?
Marilah kita kembali pada pertanyaan semula : "mengapa kita beragama ?"
Manusia adalah satu spesies makhluk yang unik dan istimewa dibanding makhluk-makhluk lainnya, termasuk malaikat. Karena, manusia dicipta dari unsur yang berbeda, yaitu unsur hewani/materi dan unsur ruhani/immateri. Memang dari unsur hewani manusia tidak lebih dari binatang, bahkan lebih lemah darinya. Bukankah banyak di antara binatang yang lebih kuat secara fisik dari manusia ? Bukankah ada binatang yang memiliki ketajaman mata yang melebihi mata manusia ? Bukankah ada pula binatang yang penciumannya lebih peka dan lebih tajam dari penciuman manusia ? Dan sejumlah kelebihan-kelebihan lainnya yang dimiliki selain manusia.
Sehubungan ini Allah Swt berfirman : "Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah" (QS An-Nisa, 4 : 28); "Allah telah menciptakan kalian lemah, kemudian menjadi kuat, lalu setelah kuat kalian menjadi lemah dan tua." (QS Rum : 54). Masih banyak ayat lainnya yang menjelaskan hal serupa.
Karena itu, sangatlah tidak pantas bagi manusia berbangga dengan penampilan fisiknya, di samping itu penampilan fisik adalah wahbi sifatnya (semata-mata penberian dari Allah, bukan hasil usahanya).
Kelebihan manusia terletak pada unsur ruhani (mencakup hati dan akal, keduanya bukan materi). Dengan akalnya, manusia yang lemah secara fisik dapat menguasai dunia dan mengatur segala yang ada di atasnya. Karena unsur inilah Allah menciptakan segala yang ada di langit dan di bumi untuk manusia (lihat surat Luqman ayat 20). Dalam salah satu ayat Alquran ditegaskan : "Sungguh telah Kami muliakan anak-anak, Kami berikan kekuasaan kepada mereka di darat dan di laut, serta Kami anugerahi mereka rezeki. Dan sungguh Kami utamakan mereka di atas kebanyakan makhluk Kami lainnya." (QS Al-Isra, 17 : 70).
Unsur akal pada manusia, awalnya masih berupa potensi (bilquwwah) yang perlu difaktualkan (bilfi’li) dan ditampakkan. Oleh karena itu, jika sebagian manusia lebih utama dari sebagian lainnya, maka hal itu semata-mata karena hasil usahanya sendirinya. Karenanya, dia berhak bangga atas yang lainnya. Sebagian mereka ada pula yang tidak berusaha memfaktualkan dan menampakkan potensinya itu, atau memfaktualkannya hanya untuk memuaskan tuntutan hewaninya, maka orang itu sama dengan binatang, bahkan lebih hina dari binatang (QS Al-A’raf, 7 : 170; Al-Furqan : 42).
Termasuk ke dalam unsur ruhan adalah fitrah. Manusia memiliki fitrah yang merupakan modal terbesar manusia untuk maju dan sempurna. Din adalah bagian dari fitrah manusia.
Dalam kitab Fitrat (edisi bahasa Parsi), Syahid Muthahhari menyebutkan adanya lima macam fitrah (kecenderungan) dalam diri manusia yaitu mencari kebenaran (hakikat), condong kepada kebaikan, condong kepada keindahan, berkarya (berkreasi), dan cinta (isyq) atau menyembah (beragama). Sedangkan menurut Syeikh Ja’far Subhani, terdapat empat macam kecenderungan pada manusia, dengan tanpa memasukkan kecenderungan berkarya seperti pendapat Syahid Muthahhari (kitab Al-Ilahiyyat, juz 1).
Kecenderungan beragama merupakan bagian dari fitrah manusia. Manusia diciptakan oleh Allah dalam bentuk cenderung beragama , dalam arti manusia mencintai kesempurnaan yang mutlak dan hakiki serta ingin menyembah Pemilik kesempurnaan tersebut. Syeik Taqi Mishbah Yazdi, dalam kitab Ma’arif al-Qur’an juz 1 hal. 37, menyebutkan adanya dua ciri fitrah, bik fitrah beragama maupun lainnya, yang terdapat pada manusia, yaitu pertama kecenderungan-kecenderungan (fitrah) tersebut diperoleh tanpa usaha atau ada dengan sendirinya, dan kedua fitrah tersebut ada pada semua manusia walaupun keberadaannya pada setiap orang berbeda, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Dengan demikian, manusia tidak harus dipaksa beragama, namun cukup kembali pada dirinya untuk menyebut suara dan panggilan hatinya, bahwa ada Sesuatu yang menciptakan dirinya dan alam sekitarnya.
Meskipun kecenderungan beragama adalah suatu yang fitri, namun untuk menentukan siapa atua apa yang pantas dicintai dan disembah bukan merupakan bagian dari fitrah, melainkan tugas akal yang dapat menentukannya. Jadi jawaban dari pertanyaan mengapa manusia harus beragama, adalah bahwa beragama merupakan fitrah manusia. Allah Ta’ala berfirman, "Maka hadapkanlah wajahmu kepada din dengan lurus, sebagai fitrah Allah yang atasnya manusia diciptakan." (QS. Rum: 30).

Sekilas Teori-teori Kemunculan Agama
Kaum materialis memiliki sejumlah teori tentang kemunculan agama, antara lain:
1. Agama muncul karena kebodohan manusia
Sebagian mereka berpendapat, bahwa agama muncul karena kebodohan manusia. August Comte—peletak dasar aliran positivisme—menyebutkan, bahwa perkembangan pemikiran manusia dimulai dari kebodohan manusia tentang rahasia alam atau ekosistem jagat raya. Pada mulanya—periode primitif—karena manusia tidak mengetahui rahasia alam, maka mereka menyandarkan segala fenomena alam kepada Dzat yang ghaib.
Namun, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan (sains) sampai pada batas segala sesuatu terkuat dengan ilmu yang empiris, maka keyakinan terhadap yang ghaib tidak lagi mempunyai tempat di tengah-tengah mereka.
Konsekuensi logis teori di atas, adalah makin pandai seseorang akan makin jauh ia dari agama bahkan akhirnya tidak beragama, dan makin bodoh seseorang maka makin kuat agamanya. Padahal, betapa banyak orang pandai yang beragama, seperti Albert Einstein, Charles Darwin, Hegel dan lainnya. Demikian sebaliknya, alangkah banyak orang bodoh yang tidak beragama.

2. Agama muncul karena kelemahan jiwa (takut)
Teori ini mengatakan, bahwa munculnya agama karena perasaan takut terhadap Tuhan dan akhir kehidupan. Namun, bagi orang-orang yang berani keyakinan seperti itu tidak akan muncul. Teori ini dipelopori oleh Bertnart Russel. Jadi, menurut teori ini agama adalah indikasi dari rasa takut. Memang takut kepada Tuhan dan hari akhirat, merupakan ciri orang yang beragama. Tetapi agama muncul bukan karena faktor ini, sebab seseorang merasa takut kepada Tuhan setelah ia meyakini adanya Tuhan. Jadi,takut merupakan akibat dari meyakini adanya Tuhan (baca: beragama).

3. Agama adalah produk penguasa
Karl Marx—bapak aliran komunis-sosialis—mengatakan, bahwa agama merupakan produk para penguasa yang diberlakukan atas rakyat yang tertindas, sebagai upaya agar mereka tidak berontak dan menerima keberadaan sosial-ekonomi. Mereka (rakyat tertindas) diharapkan terhibur dengan doktrin-doktrin agama, seperti harus sabar, menerima takdir, jangan marah dan lainnya.
Namun, ketika tatanan masyarakat berubah menjadi masyarakat sosial yang tidak mengenal perbedaan kelas sosial dan ekonomi, sehingga tidak ada lagi (perbedaan antara) penguasa dan rakyat yang tertindas dan tidak ada lagi (perbedaan antara) si kaya dan si miskin, maka agama dengan sendirinya akan hilang. Kenyataannya, teori di atas gagal. Terbukti bahwa negara komunis-sosialis sebesar Uni Soviet pun tidak berhasil menghapus agama dari para pemeluknya, sekalipun dengan cara kekerasan.

4. Agama adalah produk orang-orang lemah
Teori ini berseberangan dengan teori-teori sebelumnya. Teori ini mengatakan, bahwa agama hanyalah suatu perisai yang diciptakan oleh orang-orang lemah untuk membatasi kekuasaan orang-orang kuat. Norma-norma kemanusiaan seperti kedermawanan, belas kasih, kesatriaan, keadilan dan lainnya sengaja disebarkan oleh orang-orang lemah untuk menipu orang-orang kuat, sehingga mereka terpaksa mengurangi pengaruh kekuatan dan kekuasaannya. Teori ini diperoleh Nietzche, seorang filsuf Jerman.

Teori di atas terbantahkan jika kita lihat kenyataan sejarah, bahwa tidak sedikit dari pembawa agama adalah para penguasa dan orang kuat—misalnya Nabi Daud dan Nabi Sulaiman—keduanya adalah raja yang kuat.
Sebenarnya, mereka ingin menghapus agama dan menggantikannya dengan sesuatu yang mereka anggap lebih sempurna (seperti, ilmu pengetahuan menurut August Comte, kekuasaan dan kekuatan menurut Nietszche, komunis-sosialisme menurut Karl Marx dan lainnya). Padahal mencintai dan menyembah kesempurnaan adalah fitrah.
Perbedaan kaum agamawan dengan mereka, adalah bahwa kaum agamawan mendapatkan kesempurnaan yang mutlak hanya pada Tuhan. Jadi, sebenarnya mereka (kaum Atheis) beragama dengan pikiran mereka sendiri. Atau dengan kata lain, mereka mempertuhankan diri mereka sendiri.

Daftar Rujukan:
1. Al-Qur’an al-Karim
2. Nahj al-Balaghah, karya Ibn Abil Hadid
3. Tafsir Namuneh (bhs. Parsi), karya Ayatullah Makarim Syirazi.
4. Al-Ilahiyyat, Ayatullah Ja’far Subhani.
5. Ma’arif al-Qur’an, Ayatullah Muhammad Taqi Misbah.
6. Al-Manhaj al-Jadid fi Ta’limi al-Falsafah, karya Muhammad Taqi Misbah
7. Fitrah (bahasa Parsi), karya Ayatullah Syahid Murthahhari.
8. Manusia Seutuhnya, Studi Kritis Berbagai Pandangan Filosofis, diterjemahkan oleh Abdillah Hamid Ba’abud dari kitab aslinya Insone Komil, karya Syahid Murthahhari.